Article

Membedah Hukum Dewasa Ini Oleh: Prof JE Sahetapy *)

Sumber: hukumoline
21 Desember 2014 | 15:35:07



Bergen kan men zien, maar het recht kan men niet zien.
(Gunung-gunung dapat dilihat, tetapi hukum tidak dapat dilihat)
-- L.J. van Apeloorn (1954)

 
Tidak dikandung maksud untuk membedah hukum secara holistik. Itu tidak mungkin dilakukan di atas kertas beberapa lembar ini. Yang dibedah hanyalah hukum pidana ; itupun dari perspektif kriminologi dan viktimologi. Pernah ditulis oleh Vrij, Guru Besar hukum pidana Belanda (tahun lupa), bahwa “De kriminologie riep het strafrecht tot de werkelijkheid” (Kriminologi menyadarkan hukum pidana akan kenyataan yang ada). Hal inipun dilakukan dalam tulisan ini dalam segenggam dari perspektif kriminologi dan viktimologi dalam konteks implementasi.

Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga runtuhnya Orde Baru yang diperjuangkan oleh para mahasiswa, dalam garis besar dalam segenggam, hukum pidana dalam implementasinya, untuk meminjam lagi ungkapan Van Apeldoorn (1954) ialah ”Wanneer wij het recht zo zien: als ordening der menselijke levensverhoudingen, dan krijgen ook de dode wetsartikelen voor ons een andere betekenis” (Apabila kami melihat hukum demikian: sebagai penataan dari hubungan kehidupan kemanusiaan, maka juga pasal-pasal mati undang-undang yang kita dapati mempunyai arti yang lain).

Tidak dikandung maksud untuk mengangkat dan membedah kembali, apalagi menggali pengalaman-pengalaman yang menyedihkan, yang merisaukan hati dan pikiran pada waktu itu, yang bukan saja memperkosa kebenaran dan keadilan, tetapi juga HAM seolah-olah di-”desavoueer” atau tidak diakui. Untuk itu bertalian dengan implementasi hukum, juga yang dilakukan di dan oleh pengadilan, pada waktu itu saya menggunakan ungkapan”power by remote control”.

Sampai pada suatu tahap dan aras tertentu, hal itu yaitu pelanggaran HAM masih berlaku dan dengan frekuensi yang menakjubkan. Mustahil alat-alat negara dan aparat penegak hukum tidak tahu, apalagi Presiden SBY. Kalau pelanggaran HAM di Miami, Amerika Serikat direspon oleh Presiden SBY dengan wawancara di halaman istana negara demi konsumsi politik dalam negeri, maka ibarat pepatah : ”kuman di seberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tidak tampak”. Ini yang disebut politik pencitraan yang munafik alias mencla-mencle. Bahkan kasus HAM yang sudah ”in kracht van gewijsde” oleh Mahkamah Agung RI tidak digubris oleh SBY sebagai ”commander in chief RI”.

Secara menyolok meskipun KPK telah membantai orang-orang terhormat di jajaran pemerintahan, di Senayan sampai di daerah-daerah luar Jawa dan disiarkan oleh semua media pers, masih belum tampak juga bahwa fenomena korupsi itu telah berakhir atau selesai. Kata orang Negeri Kincir Angin: ”voor hoe lang nog!” (masih berapa lama lagi), meskipun disadari bahwa itu baru puncak gunung es. Sudah demikian parahkah mental dan rusaknya budaya bangsa ini !? Simak berita kompas (11-11-14) : “Meski Bergaji Besar Pegawai Tetap Korupsi”. Jadi inikah ”mafia negara” atau ”negara mafia”.

Dan Presiden-Presiden setelah Soeharto lebih banyak ”mendandani” diri dan kelompoknya, belum tampak ada gebrakan yang keras dan tegas terhadap korupsi. Gus Dur mungkin sebagai Presiden perkecualian sampai melabel Senayan sebagai taman kanak-kanak, cahaya harapan kebersihan tanpa korupsi di ufuk timur belum tampak terbit juga. Kemudian muncul pahlawan dengan sejumlah janji dalam bakul politik pencitraan. Sayang, sampai pada ”de laatste stuiptrekken” alias ”nafas terakhir” sehingga muncul dua kubu politik seperti tidak kenal alias lupa pada ”Weltanschauung” Pancasila, SBY seperti terus keliru bermain kartu as politiknya. Dalam jagad media sosial muncul plesetan SBY yaitu antara lain ”Shamed By You”. Apakah ini sebagai ”Blunder sepuluh syarat keramat” (Gatra 2-8 Oktober 2014), entahlah!

Setelah Orde Baru tumbang, HAM seperti terus diperkosa, dan meskipun dipajang politik pencitraan yang mencla-mencle oleh SBY, saya perlu menyebut beberapa pelanggaran HAM berat agar tidak kelupaan dan semoga bisa diselesaikan dalam waktu dekat ini oleh Pemerintah Jokowi-JK:
  1. Kelompok Syiah terusir dari desa Karangayam, Kecamatan Omben dan desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang di Madura.
  2. Kelompok Ahmadiyah terkatung-katung di pengungsian di Asrama Transito, Mataram, Lombok.
  3. Penyegelan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor, Jawa Barat (sudah 5 tahun).
  4. Izin pendirian Masjid Baluplat di NTT (3 tahun).
  5. Penyegelan Gereja HKBP di Bekasi (2 tahun) di Jawa Barat (sumber Kompas 2 November 2014).
Tidak perlu ditanya data masa lampau. Aparat Sipil (Polisi) dan terutama militer tidak bisa begitu saja cuci tangan. Simak “konflik” yang oleh rakyat dirasakan terutama di Indonesia Timur khusus di Maluku seolah-olah direkayasa oleh dan dari Pusat.

Setelah Reformasi menjebol Orde Baru, diperkirakan akan ada “trace” baru. Ternyata pemain-pemain lama muncul kembali dengan topeng-topeng baru. Sebagian besar dari mereka adalah Sengkuni-Sengkuni lama dan ada pula yang baru, baik di kalangan pemerintahan maupun dan terutama di Senayan. Mereka bergaya dan ”ribut” dan seperti lupa ungkapan kolonial bahwa ”de pot verwijt de ketel” alias pantat belanga menuduh atau mengkritisi pantat wajan, padahal dua-dua sama hitamnya. Hal itu secara ”mutatis mutandis” terulang kembali di akhir pemilu yang baru lalu. Senayan seolah-olah menciptakan dua Blok. Sejarah seperti terulang!

Dunia kepolisian meskipun di bawah otoritas RI 1 dan Kejaksaan ”idem dito”, dua-dua sama payah dalam rangka memberantas dan mengadili korupsi. Saya lalu teringat kasus ”cicak lawan buaya”. Istilah deponering masih dipakai, padahal di Belanda sudah lama mengganti dengan istilah seponering. Kepolisian seperti sulit menyelesaikan kasus perut buncit yang kaya raya. Banyak ceritera yang tidak sedap tentang kejaksaan, dulu dan sejak kematian Jaksa Agung Lopa. Baik saja tidak cukup. Jaksa Agung harus berani. Kenakalan jaksa makin merisaukan berdasarkan pengaduan masyarakat yang diterima Komisi Kejaksaan. Selama 2013 terdapat 168 jaksa yang melanggar kode etik dan 18 jaksa dihukum berat dengan 5 orang dipecat. (Kompas 06-11-14).

Dalam berbagai dilema konstelasi pada waktu itu, muncul gagasan untuk menciptakanKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah mengalami perubahan undang-undang, ternyata KPK bisa menggebrak dengan segala kelemahan ”inhaerensi” yang ada padanya, meskipun ia seperti disabot dari dan di Senayan, juga pernah oleh pihak kepolisian. Beberapa akademisi murahan seperti ikut membantu dan menentang secara terselubung KPK, dan Menteri Hukum dan HAM seperti tidak mau membela ”lex specialis derogat legi generali” dengan alasan murahan bahwa RUU yang sudah diajukan pantang dicabut kembali. (cf. Tempo 02-03-14). Memang benar ungkapan kolonial : ”Zo heer, zo knecht”. Arti bebas : ”seperti majikannya yang mudah obral janji”. Teringat saya pada ”Blunder Sepuluh Syarat Keramat” (Gatra 2-8 Oktober 2014. Belum lagi soal ”Napi korupsi bebas berkeliaran” (Kompas 30-10-14)
 
Sepanjang saya telusuri bahan bacaan bertalian dengan korupsi, sangatlah menarik untuk dicatat ”para pejabat negara terkorup”. Menurut Advokat Indonesia News thn X, edisi 6, 2013, ada 19 orang : 1. Pejabat Kemenpora. 2. Mantan Kakorlantas Polri. 3. Mantan pegawai Dirjen Pajak Kementerian Keuangan. 4. Pejabat Kementerian Kehutanan Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Dephut. 5. Mantan Kabareskim Polri. 6 Mantan Pegawai Dirjen Pajak. 7. Mantan Bupati Buol. 8. Mantan Deputi Senior Bank Indonesia. 9. Mantan Gubernur Sumatera Utara. 10. Mantan Gubernur Bengkulu. 11. Mantan Gubernur Maluku Utara. 12. Mantan Walikota Bekasi. 13. Mantan Wakil Walikota Cirebon. 14. Mantan Bupati Subang. 15. Mantan Bupati Lampung Timur. 16. Mantan Gubernur BI. 17. Mantan Menteri Kelautan. 18. Mantan Walikota Salatiga. 19. Mantan Gubernur Bank Indonesia. Quo Vadis RI kita ini !?

Bayangkan 309 Kepala Daerah terjerat korupsi (MI, 9 Okt 2013). Keputusan hukum ternyata bisa dibeli. Di Jkt 83,8% percaya ; 69,2% di Jayapura percaya (Kompas 10 Okt 2005). 60.000 dosen tidak layak (Seputar Ind, 4 Sept 2008). Plagiat marak di kalangan dosen (Jawa Pos, 3 Okt 2013). Produksi 1.600 ijasah palsu (JP 14 Juni 2012). Kiyai mesum setubuhi 2 santriwati dan cabuli 5 korban (JP 20 Febr 2014). Siswi SMP di sekolah di Jkt Pusat diperkosa, lalu direkam 6 teman sekolah di depan siswi-siswi lain (JP 18 Okt 2013). Belum lagi tentang kasus Bank Century dan lain-lain yang belum sempat dicatat. Sekali lagi : Quo Vadis bangsa dan negara kita !
 
Saya ingin mengakhiri tulisan pendek ini dengan pengamatan saya bahwa Indonesia dewasa ini dalam keadaan anomie (Durkheim 1952 dan Merton 1957). Namun, tanpa lupa akan peringatan Adolph Quetelet (1835) bahwa ”Societies have the criminals they deserve”.Pemerintah sekarang ini harus memperkuat KPK dalam rangka memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, meskipun itu menyangkut (para) pejabat (ter) tinggi di masa lampau.

Sementara itu harus terus dibina dan dipupuk budaya malu seperti di Jepang dan budaya rasa bersalah seperti di Eropa. Mulailah menanam hal itu di taman kanak-kanak dan terus dipelihara di Sekolah Dasar. Kalau dimulai dari Sekolah Menengah, apalagi di Perguruan Tinggi, maka hal itu sudah terlambat. Ungkapan kolonial: “Men kan geen ijzer met handen breken” (Orang tidak bisa patah besi dengan tangan). Itu berarti: besi harus terus dipanasi, baru bisa dibengkokkan. Agama sejak kecil cukup dididik di rumah. Di sekolah, terutama di Sekolah Dasar ditanam mata pelajaran Budi Pekerti. Jangan lupa: “sehari selembar benang, lama-lama menjadi sehelai kain”.
 
*Ketua Komisi Hukum Nasional
**Tulisan ini disajikan untuk acara Dialog Hukum KHN-PSHK-ILUNI FHUI-Hukumonline “Pekerjaan Rumah Sektor Hukum Pemerintahan Jokowi-JK”, 19 November 2014.