News
Revisi UU KPK Rusak Pemberantasan Korupsi
Sumber: tempo.co11 Desember 2014 | 23:31:32
TEMPO.CO, Yogyakarta - Dimasukkannya lagi Rencana Undang-Undang (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) dipersoalkan kalangan aktivis antikorupsi. Selain itu, yang menjadi prioritas prolegnas DPR RI adalah RUU KUHAP/KUHP dan RUU tindak pidana korupsi.
"Akan merusak akal sehat gerakan antikorupsi," kata Hifdzil Alim, peneliti senior di Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Kamis, 11 Desember 2014.
Dari telaah Pukat, ada rencana terstruktur, sistematis, dan masif untuk pelemahan KPK. Ada sebanyak 7 hal dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berpotensi melemahkan KPK. (Baca: Ruhut: Revisi RUU KUHAP Tak Boleh Lemahkan KPK)
Yaitu tidak diaturnya ketentuan KPK untuk melakukan penyidikan. Ada juga soal penghentian penuntutan perkara. Dalam Pasal 40 Undang-Undang KPK disebutkan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan. Sedangkan Pasal RUU KUHAP Pasal 44 ayat (4) menyatakan apabila hakim pemeriksa pendahuluan memutus satu perkara tidak layak dilakukan penuntutan ke pengadilan, maka penuntut umum mengeluarkan surat perintah penghentian penuntutan.
Padahal, penghentian penyidikan dan penuntutan perkara korupsi oleh KPK tidak dibenarkan. Sehingga penghentian itu sangat kontraproduktif dengan upaya penindakan perkara oleh KPK. "Di situ kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan sangat besar," kata dia.
Kewenangan hakim tersebut, kata Hifdzil, antara lain memiliki wewenang penangguhan penahanan yang dilakukan penyidik (Pasal 67 RUU KUHAP), memberikan atau tidak memberikan izin penyitaan (Pasal 75), memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan (Pasal 83) dan membatalkan penyadapan yang dilakukan dalam keadaan mendesak (Pasal 84 ayat 4).
"Kewenangannya sangat besar tidak sebanding dengan potensi perilaku korup dari oknum hakim yang masih menjangkiti institusi peradilan," kata Hifdzil.
Ia menambahkan, upaya pelemahan KPK yang lain adalah putusan bebas bagi terdakwa korupsi tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Jika pengadilan tingkat pertama dan banding memutus bebas terdakwa korupsi, maka penuntut umum tidak bisa melakukan kasasi. Itu tertera pada pasal 240 RUU KUHAP.
Bahkan, dalam RUU itu disebutkan putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan Pengadilan Tinggi. Ini juga sangat kontraproduktif dengan upaya memenjarakan koruptor. "Jika itu disahkan, maka kewenangan khusus KPK dalam penanganan perkara korupsi akan turut terhapus," kata Direktur Penelitian di Pukat itu. (Baca: Undang-Undang Tak Diubah, KPK Lega)
MUH SYAIFULLAH
"Akan merusak akal sehat gerakan antikorupsi," kata Hifdzil Alim, peneliti senior di Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Kamis, 11 Desember 2014.
Dari telaah Pukat, ada rencana terstruktur, sistematis, dan masif untuk pelemahan KPK. Ada sebanyak 7 hal dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berpotensi melemahkan KPK. (Baca: Ruhut: Revisi RUU KUHAP Tak Boleh Lemahkan KPK)
Yaitu tidak diaturnya ketentuan KPK untuk melakukan penyidikan. Ada juga soal penghentian penuntutan perkara. Dalam Pasal 40 Undang-Undang KPK disebutkan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan. Sedangkan Pasal RUU KUHAP Pasal 44 ayat (4) menyatakan apabila hakim pemeriksa pendahuluan memutus satu perkara tidak layak dilakukan penuntutan ke pengadilan, maka penuntut umum mengeluarkan surat perintah penghentian penuntutan.
Padahal, penghentian penyidikan dan penuntutan perkara korupsi oleh KPK tidak dibenarkan. Sehingga penghentian itu sangat kontraproduktif dengan upaya penindakan perkara oleh KPK. "Di situ kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan sangat besar," kata dia.
Kewenangan hakim tersebut, kata Hifdzil, antara lain memiliki wewenang penangguhan penahanan yang dilakukan penyidik (Pasal 67 RUU KUHAP), memberikan atau tidak memberikan izin penyitaan (Pasal 75), memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan (Pasal 83) dan membatalkan penyadapan yang dilakukan dalam keadaan mendesak (Pasal 84 ayat 4).
"Kewenangannya sangat besar tidak sebanding dengan potensi perilaku korup dari oknum hakim yang masih menjangkiti institusi peradilan," kata Hifdzil.
Ia menambahkan, upaya pelemahan KPK yang lain adalah putusan bebas bagi terdakwa korupsi tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Jika pengadilan tingkat pertama dan banding memutus bebas terdakwa korupsi, maka penuntut umum tidak bisa melakukan kasasi. Itu tertera pada pasal 240 RUU KUHAP.
Bahkan, dalam RUU itu disebutkan putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan Pengadilan Tinggi. Ini juga sangat kontraproduktif dengan upaya memenjarakan koruptor. "Jika itu disahkan, maka kewenangan khusus KPK dalam penanganan perkara korupsi akan turut terhapus," kata Direktur Penelitian di Pukat itu. (Baca: Undang-Undang Tak Diubah, KPK Lega)
MUH SYAIFULLAH