News
Dikti Akan Hilangkan Magister Kenotariatan dari Perguruan Tinggi
Sumber: hukumonline19 Desember 2014 | 14:43:55
Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) pada Kementerian Riset, Teknologi
dan Perguruan Tinggi berencana “mengeluarkan” program magister
kenotariatan (MKn) dari universitas dan mengembalikan program itu ke
khitahnya sebagai pendidikan profesi.
Hal ini diutarakan oleh Ketua Tim Revitalisasi Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum Dikti Kemenristek PT, Prof. Johannes Gunawan dalam lokakarya hukum ASEAN yang dihadiri oleh sejumlah dosen hukum se-DKI Jakarta dan Jawa Barat di Bandung, Senin (15/12).
Johannes menjelaskan ada tiga jenis pendidikan yang diatur dalam UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yakni pendidikan akademik (Strata S-1 ke atas), pendidikan vokasi (D1 dan D3, untuk bidang hukum adalah pendidikan yang menghasilkan paralegal), dan pendidikan profesi.
“Saat ini terjadi carut marut, notaris di universitas ditempatkan di magister. Padahal dia profesi, bukan akademik,” ujarnya.
Dalam pendidikan profesi, lanjut Johannes, yang dikedepankan adalah pelajaran yang menyangkut keahlian khusus. Untuk profesi notaris, misalnya adalah keahlian membuat akta. “Tapi karena ditempatkan di pendidikan akademik yang tujuannya untuk mengembangkan ilmu, maka ketika mereka lulus, kemampuan membuat akta rendah. Yang tinggi skill membuat makalah,” selorohnya.
Ditemui usai pemaparan dalam Lokakarya, Johannes memaparkan panjang lebar mengenai rencana Kemenristek PT ini. “Bukan dikeluarkan, tetapi dikembalikan ke khitahnya sebagai pendidikan profesi. Sekarang kan MKn itu pendidikan akademik,” ujarnya.
Ia mengaku sedang berunding dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI) selaku organisasi profesi notaris untuk mengembalikan kenotariatan sebagai pendidikan profesi. “Prosesnya sedang berjalan. Minggu lalu kami bertemu dengan INI,” jelasnya.
“Mereka menyambut baik,” ungkap Johannes lagi.
Johannes mengaku belum tahu kapan rencana ini akan segera terealisasi karena ini berkaitan dengan kepentingan banyak perguruan tinggi yang memiliki magister kenotariatan. “Mereka menghendaki kenotariatan tetap sebagai magister,” ujarnya.
Namun, bila terjadi “deadlock”, maka Johannes menuturkan sudah disiapkan jalan keluar dari Dirjen Dikti. Bila program sarjana di dalam kurikulum masuk ke Level 6, maka kenotariatan bisa dimasukan ke Level 7 dimana para mahasiswa perlu menempuh satu tahun pendidikan tambahan. “Kami memungkinkan mereka dapat magister hukum, tetapi bukan magister kenotariatan,” ujarnya.
“Nanti, mereka akan diberikan ijazah dan sertifikat profesi. Nah, sertifikat profesi ini untuk uji kompetensi di INI,” tambahnya.
Johannes menambahkan pendidikan profesi dan uji kompetensi seyogyanya memang harus diselenggarakan oleh organisasi profesi yang bersangkutan. “Kalau belum mampu, ya bisa dititipkan ke perguruan tinggi, tapi kurikulum, dosen dan sebagainya dari INI,” jelasnya.
Ketua Umum Ikatan Notaris Indonesia (INI) Adrian Djuaeni belum mau berkomentar banyak seputar wacana mengembalikan kenotariatan ke pendidikan profesi ini. “Kalau soal itu wawancara khusus saja. Ceritanya bukan seperti itu. Saya sedang tandatangan akta dengan klien,” ujarnya ketika dihubungi Hukumonline.com melalui sambungan telepon.
Baru Wacana
Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof. Topo Santoso mengaku sudah mendengar wacana ini sebelumnya. Namun, ia menilai bahwa ini baru sebuah wacana yang butuh pembahasan dengan semua pemangku kepentingan. “Pembahasan harus mendalam, nggak bisa hanya antar DIKTI dan INI, lalu langsung tarik begitu,” ujarnya.
Topo mengatakan para fakultas hukum penyelenggara program MKn seluruh Indonesia perlu dilibatkan dalam pembahasan. “Kita kan punya badan kerja sama FH Penyelenggara Program Kenotariatan. Itu harus dilibatkan dalam pembahasan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Topo mengatakan, dahulu ketika ada perubahan dari CN (Calon Notaris) ke MKn (Magister Kenotariatan) pembahasan dan perdebatannya cukup panjang. Apalagi, mahasiswa dan lulusan MKn di setiap perguruan tinggi sudah sangat banyak jumlahnya. “Sejarahnya panjang,” ujarnya.
Hal ini diutarakan oleh Ketua Tim Revitalisasi Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum Dikti Kemenristek PT, Prof. Johannes Gunawan dalam lokakarya hukum ASEAN yang dihadiri oleh sejumlah dosen hukum se-DKI Jakarta dan Jawa Barat di Bandung, Senin (15/12).
Johannes menjelaskan ada tiga jenis pendidikan yang diatur dalam UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yakni pendidikan akademik (Strata S-1 ke atas), pendidikan vokasi (D1 dan D3, untuk bidang hukum adalah pendidikan yang menghasilkan paralegal), dan pendidikan profesi.
“Saat ini terjadi carut marut, notaris di universitas ditempatkan di magister. Padahal dia profesi, bukan akademik,” ujarnya.
Dalam pendidikan profesi, lanjut Johannes, yang dikedepankan adalah pelajaran yang menyangkut keahlian khusus. Untuk profesi notaris, misalnya adalah keahlian membuat akta. “Tapi karena ditempatkan di pendidikan akademik yang tujuannya untuk mengembangkan ilmu, maka ketika mereka lulus, kemampuan membuat akta rendah. Yang tinggi skill membuat makalah,” selorohnya.
Ditemui usai pemaparan dalam Lokakarya, Johannes memaparkan panjang lebar mengenai rencana Kemenristek PT ini. “Bukan dikeluarkan, tetapi dikembalikan ke khitahnya sebagai pendidikan profesi. Sekarang kan MKn itu pendidikan akademik,” ujarnya.
Ia mengaku sedang berunding dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI) selaku organisasi profesi notaris untuk mengembalikan kenotariatan sebagai pendidikan profesi. “Prosesnya sedang berjalan. Minggu lalu kami bertemu dengan INI,” jelasnya.
“Mereka menyambut baik,” ungkap Johannes lagi.
Johannes mengaku belum tahu kapan rencana ini akan segera terealisasi karena ini berkaitan dengan kepentingan banyak perguruan tinggi yang memiliki magister kenotariatan. “Mereka menghendaki kenotariatan tetap sebagai magister,” ujarnya.
Namun, bila terjadi “deadlock”, maka Johannes menuturkan sudah disiapkan jalan keluar dari Dirjen Dikti. Bila program sarjana di dalam kurikulum masuk ke Level 6, maka kenotariatan bisa dimasukan ke Level 7 dimana para mahasiswa perlu menempuh satu tahun pendidikan tambahan. “Kami memungkinkan mereka dapat magister hukum, tetapi bukan magister kenotariatan,” ujarnya.
“Nanti, mereka akan diberikan ijazah dan sertifikat profesi. Nah, sertifikat profesi ini untuk uji kompetensi di INI,” tambahnya.
Johannes menambahkan pendidikan profesi dan uji kompetensi seyogyanya memang harus diselenggarakan oleh organisasi profesi yang bersangkutan. “Kalau belum mampu, ya bisa dititipkan ke perguruan tinggi, tapi kurikulum, dosen dan sebagainya dari INI,” jelasnya.
Ketua Umum Ikatan Notaris Indonesia (INI) Adrian Djuaeni belum mau berkomentar banyak seputar wacana mengembalikan kenotariatan ke pendidikan profesi ini. “Kalau soal itu wawancara khusus saja. Ceritanya bukan seperti itu. Saya sedang tandatangan akta dengan klien,” ujarnya ketika dihubungi Hukumonline.com melalui sambungan telepon.
Baru Wacana
Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof. Topo Santoso mengaku sudah mendengar wacana ini sebelumnya. Namun, ia menilai bahwa ini baru sebuah wacana yang butuh pembahasan dengan semua pemangku kepentingan. “Pembahasan harus mendalam, nggak bisa hanya antar DIKTI dan INI, lalu langsung tarik begitu,” ujarnya.
Topo mengatakan para fakultas hukum penyelenggara program MKn seluruh Indonesia perlu dilibatkan dalam pembahasan. “Kita kan punya badan kerja sama FH Penyelenggara Program Kenotariatan. Itu harus dilibatkan dalam pembahasan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Topo mengatakan, dahulu ketika ada perubahan dari CN (Calon Notaris) ke MKn (Magister Kenotariatan) pembahasan dan perdebatannya cukup panjang. Apalagi, mahasiswa dan lulusan MKn di setiap perguruan tinggi sudah sangat banyak jumlahnya. “Sejarahnya panjang,” ujarnya.