News

Indonesia Kalahkan Hesham di UNCITRAL Terkait Bank Century

Sumber: hukumonline
22 Desember 2014 | 13:38:09

Di penghujung akhir tahun 2014, Pemerintah Indonesia mendapat kabar positif dari United Nations Commission on International Trade Law (UNICTRAL). 15 Desember 2014, panel arbiter UNCITRAL menolak gugatan yang diajukan Hesham al Warraq terkait Bank Century, yang saat ini telah berubah nama menjadi Bank Mutiara,

“Saya hanya bisa menginformasikan bahwa Pemerintah RI menang, UNCITRAL menolak gugatan Hesham al Warraq. Putusannya baru keluar 15 Desember kemarin,” kata Iswahjudi Karim, salah seorang kuasa hukum yang mewakili Pemerintah Indonesia di UNCITRAL.

Laman publikasi Global Arbitration Review, http://globalarbitrationreview.com mewartakan secara singkat bahwa UNCITRAL telah mengeluarkan putusan atas kasus Pemerintah Indonesia versus Hesham al Warraq.

Global Arbitration Review dalam artikelnya menyebut putusan UNCITRAL diklaim oleh masing-masing pihak, Pemerintah Indonesia dan Hesham al Warraq, sebagai kemenangan. Dalam putusannya, panel UNCITRAL menyatakan tindakan Kejaksaan Republik Indonesia telah melanggar hukum internasional terkait proses hukum terhadap Hesham.

Namun, panel UNCITRAL berpendapat kelalaian Hesham melakukan pengawasan terhadap Bank Century sehingga mengalami bail-out, menjadikan dirinya tidak mendapatkan perlindungan berdasarkan perjanjian.

Seperti diketahui, dua mantan pemegang saham Bank Century, Hesham al Warraq dan Rafat Ali Rizvi melayangkan gugatan melalui dua jalur yang berbeda. Rafat menggugat melalui International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID), sedangkan Hesham melalui Organisasi Konferensi Islam (OKI) dengan hukum acara UNCITRAL.

Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya penanganan masalah di atas, di antaranya dengan menerbitkan Perpres Nomor 38 Tahun 2011 dan Perpres Nomor 60 Tahun 2011. Dua Perpres itu menugaskan Menteri Keuangan untuk melakukan penanganan permohonan arbitrase Hesham dan Rafat.

Pemerintah juga telah menunjuk Jaksa Agung sebagai Jaksa Pengacara Negara dan Law Firm Karimsyah untuk mewakili Pemerintah RI dalam perkara arbitrase tersebut.

Sebelumnya, Juli 2013 lalu, permohonan Rafat di International Centre for Settlement of Investment Disputes (ISCID) juga kandas. Majelis arbiter menerima eksepsi pemerintah dan menolak mengadili perkara yang diajukan Rafat dengan salah satu pertimbangannya adalah investasi yang dilakukan pemohon di Indonesia tidak memiliki izin pemerintah.

Hesham dan Rafat saat ini masih berstatus buronan Kejaksaan Agung. Keduanya melalui persidangan in absentia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi pada 16 Desember 2010. Hesham dan Rafat dihukum 15 tahun penjara, denda Rp 15 miliar subsider enam bulan penjara, dan mengganti kerugian negara sebesar Rp3,1 triliun secara tanggung renteng.

Vonis penjara ini lebih rendah dari apa yang dituntut oleh penuntut umum beberapa waktu lalu. Penuntut umum sebenarnya menginginkan kedua terdakwa divonis 20 tahun penjara. Selebihnya, vonis majelis terkait denda serta uang pengganti kurang lebih sesuai dengan tuntutan.