News

MK Hilangkan Kewenangan DPR 'Memilih' Anggota KY

Sumber: hukumonline
24 Desember 2014 | 13:14:10

Mahkamah Konstitusi (MK) memberi tafsir konstitusional terhadap Pasal 28 ayat (3) huruf c, ayat (6) dan Pasal 37 UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial (KY) terkait mekanisme rekrutmen Komisioner KY oleh DPR. Mahkamah menyatakan DPR hanya berhak menyetujui atau tidak menyetujui calon anggota Komisioner KY yang diusulkan presiden. Sebab, ketentuan bahwa presiden harus mengusulkan tiga kali jumlah Komisioner KY pun dihapus.  
 
Frasa 'sebanyak 21 (dua puluh satu) calon' dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c UU KY bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sebanyak 7 (tujuh) calon)',”  ucap Ketua Majelis MK Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 16/PUU-XII/2014 di ruang sidang MK, Selasa (23/12).
 
Selain itu, MK menyatakan Pasal 28 ayat (6) UU KY frasa “wajib memilih dan...” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berwenang menyetujui atau tidak menyetujui. Frasa "sebanyak 3 (tiga) kalidari......" dalam Pasal 37 ayat (1) UU KY juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘sebanyak  sama dengan”. 
 
Dalam pertimbangannya, MK menegaskan dalam Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 secara jelas menyebutkan anggota KY itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Karenanya, jelas bagi Mahkamah bahwa pengisian anggota komisioner KY hanya persetujuan bukan memilih.
 
Lagipula, menurut Mahkamah persoalan pengisian anggota komisioner KY sama dengan perihal proses seleksi calon hakim agung yang diputuskan pada 2013. Dalam pertimbanganputusan bernomor 27/PUU-XI/2013 itu, MK menilai posisi DPR yang hanya sebatas menyetujui dimaksudkan untuk memberikan jaminan indepedensi hakim agung yang tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan politik atau cabang kekuasaan negara manapun.
 
“Oleh karena permohonan pengujian konstitusionalitas pasal-pasal itu adalah sama dengan substansi pertimbangan dalam putusan di atas, maka substansi pertimbangan hukum tersebut mutatis mutandis berlaku sebagai pertimbangan dalam putusan permohonan ini,” terang Hakim Konstitusi Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan putusan.
 
Pengujian kedua pasal itu diajukan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Edy Suandi Hamid dan dosen Fakultas Hukum UII Jogjakarta Sri Hastuti Puspitasari. Selain menguji ketentuan pemilihan anggota KY, keduanya pun menguji konstitusionalitas ketentuan seleksi pimpinan KPK. 
 
Namun, untuk pengujian Pasal 30 ayat (1), (10), (11) UU KPK mengenai seleksi pimpinan KPK itu, MK menolak karena konstitusi tidak mengatur pola pengisian jabatan pimpinan KPK. MK menganggap mekanisme pengisian jabatan pimpinan KPK merupakan tuntutan dari dinamika sosial politik dalam penegakan hukum yang masuk ranah kebijakan pembentuk undang-undang.
 
Usai persidangan, salah satu pemohon Sri Hastuti Puspitasari menjelaskan adanya putusan MK ini nantinya DPR tidak lagi memilih calon anggota KY, tetapi hanya menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diusulkan presiden melalui panitia seleksi. “Diharapkan, potensi intervensi DPR terhadap calon-calon yang diusulkan melalui fit and proper test dapat diminimalisir,” kata Sri di Gedung MK.  
 
Menurutnya, selama ini, tidak ada jaminan calon yang mengikuti fit and proper test calon anggota KY akan dipilih DPR. “Jadi, sekarang kalau yang lowong satu anggota KY, presiden pun hanya ajukan satu calon. Selanjutnya, DPR hanya tinggal menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diajukan presiden,” katanya.
 
Terkait dengan mekanisme pemilihan pimpinan KPK, dia menerima pandangan MK yang menyatakan secara kelembagaan KPK tidak diatur dalam UUD 1945. “Yang dikabulkan pengujian UU KY karena memang KY normanya ada dalam UUD 1945. Kalau UU KPK tidak dikabulkan karena kPK secara garis besar tidak diatur dalam UUD 1945.”