Rapat Konsultasi antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Pimpinan DPR yang digelar di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (13/10) sore, sepakat untuk menyelesaikan masalah-masalah ekonomi yang sudah mendesak terlebih dahulu, dan menunda pembahasan mengenai revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Dikutip dari www.setkab.go.id, Menko Polhukam Luhut Pandjaitan menjelaskan, Pimpinan DPR dan Presiden sepakat untuk melakukan penyempurnaan terhadap UU KPK itu. Namun, lanjut Luhut, pembahasan ini akan dilakukan menunggu persidangan yang akan datang karena pemerintah merasa masih perlu untuk fokus pada permasalahan ekonomi.
“Pemerintah dan DPR akan fokus untuk menyelesaikannya dalam RAPBN 2016 dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan hal ini,” kata Luhut kepada wartawan seusai Rapat Konsultasi Pimpinan DPR-RI dengan Presiden RI, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (13/10) sore.
Pemerintah dan DPR, menurut Luhut, akan fokus untuk menyelesaikannya dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPN) Tahun 2016, dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan hal ini.
“Kesepakatan itu saya kira kita capai dalam suasana yang sangat bersahabat, kita paham posisi dari teman-teman DPR dan teman-teman DPR juga paham mengenai posisi pemerintah,” terang Luhut.
Sementara, Ketua DPR Setya Novanto mengatakan, bahwa DPR sekarang ini sedang melaksanakan pembahasan RAPBN 2016 yang harus diselesaikan sebelum tanggal 28 Oktober ini. Sementara mulai 30 Oktober, DPR akan memasuki masa reses.
Karena itu, lanjut Setya, DPR dan pemerintah sepakat sebagaimana disampaikan oleh MenkoPolhukam Luhut B. Pandjaitan untuk memprioritaskan masalah pembahasan RAPBN 2016 itu terlebih dahulu.
“Tentu pertemuan ini memberikan suatu gambaran besar sehingga persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penyempurnaan UU KPK itu, kita bisa laksanakan setelah semuanya itu bisa selesai dengan sebaik-baiknya karena semuanya ini tentu kita perhatikan, khususnya bagaimana kita akan memperkuat KPK ini bisa lebih baik,” pungkas Setya Novanto.
Sementara itu, Anggota Fraksi PDI Perjuangan Said Abdullah meyakini
revisi UU KPK semata-mata demi meluruskan "kiblat" atau tujuan institusi
itu agar sesuai amanat konstitusi.
"Saat ini kewenangannya melampaui konstitusi sehingga UU tidak
dibutuhkan karena semua oknum KPK merupakan manusia setengah dewa,"
katanya di Jakarta, Senin.
Dia mengatakan revisi itu tidak akan membubarkan KPK karena lembaga itu
masih sangat dibutuhkan. Namun menurut dia, harus diberikan tenggat,
sampai kapan KPK harus mampu melaksanakan tugasnya.
"Karena bagaimanapun KPK merupakan lembaga ad hoc, yang sesuai jati dirinya bersifat sementara," ujarnya.
Said menganalogikan KPK seperti sub-kontraktor yang mengerjakan proyek
yang diberi tugas melakukan pemberantasan korupsi sebagai lembaga ad hoc
(temporer). Menurut dia, apabila kerjaannya telat terus, harus diberi
tenggat waktu, karena kalau tidak maka kapan proyek itu selesai.
"Kapan kontraktor utamanya (Polri dan Jaksa) bekerja? Nah, kalau
kerjaan sub-kontraktor nggak kelar, bagaimana kontraktor utama bisa
bekerja?" katanya.
Dia menilai drama yang ditampilkan KPK seperti Operasi Tangkap Tangan
(OTT) yang menampilkan pejabat publik, mampu menyihir masyarakat. Namun,
dia mengatakan publik lupa bahwa KPK merupakan sebuah lembaga yang
didesain bersifat temporer tapi berkembang menjadi tidak pernah jelas
sampai kapan keberadaannya.
"Reformasi Kepolisian, Kejaksaan, dan pemberdayaan BPK-BPKP karena
drama KPK terus berlanjut terlupakan sehingga tidak juga bisa
diharapkan," katanya.